Detail Cantuman
Advanced SearchText
Pulang
'Aku tahu sekarang, lebih banyak luka di hati bapakku dibandingkan di tubuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis di hati mamak dibanding di matanya.â€
Sebuah kisah tentang perjalanan pulang, melalui pertarungan demi pertarungan, untuk memeluk erat semua kebencian dan rasa sakit.
Kembali pada Hakikat
Data Buku
Judul buku : Pulang
Penulis : Tere Liye
Editor : Triana Rahmawati
Penerbit : Republika Penerbit
Tebal buku : iv + 400 hal. ; 13.5 x 20.5 cm
Kota terbit : Jakarta
Tahun terbit : November 2015 cetakan VIII
“Aku tahu sekarang, lebih banyak luka di hati bapakku dibandingkan di tubuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis di hati mamak dibanding di matanya.â€
Sebuah kisah tentang perjalanan pulang, melalui pertarungan demi pertarungan, untuk memeluk erat semua kebencian dan rasa sakit.
***
Pulang. Satu kata yang biasa diartikan kembali pada tempat teakhir setelah merasa lelah, butuh tempat istirahat dan penenang jiwa setelah semua urusan telah selesai. Pulang juga biasa diartikan kembalinya diri pada tempat perlindungan yang lebih ketika diri mulai merasa tidak aman, butuh bantuan dan tempat istirahat yang nyaman.
Sama halnya dengan novel terbaru Tere Liye tahun ini, kembali pada tempat terakhir setelah merasa lelah, butuh tempat istirahat dan penenang jiwa setelah semua urusan telah selesai. Namun, kali ini bukanlah pulang dengan perjalanan seperti pada umumnya. Sebab pulang kali ini adalah petualangan yang sangat berkesan melewati pertarungan demi pertarungan, melalui kejutan demi kejutan.
Namanya Bujang, bocah berusia lima belas tahun yang sama dengan bocah-bocah seusianya. Lahir dan besar di kampung pedalaman Sumatra, atas didikkan keras dan lembut bapak-mamaknya. Bapaknya bernama Samad, seorang mantan jagal tersohor yang meninggalkan masa lalu hitamnya. Mamaknya sendiri bernama Midah, seorang keturunan pemuka agama. Bujang sama dengan bocah-bocah di kampungnya, senang bermain di hutan, berjahil dan selalu ingin tahu pembicaraan orang dewasai. Dididik membaca, berhitung, mengaji, azan dan sholat juga lain sebagainya. Namun satu hal yang membuat Bujang amat berbeda dengan bocah-bocah seusianya. Bujang tidak takut. Jika setiap manusia memiliki lima emosi, yaitu bahagia, sedih, takut, jijik, dan kemarahan. Bujang hanya memiliki empat emosi, Bujang tidak punya rasa takut.
Semuanya bermula saat Tauke Muda menginjakkan kakinya di tanah kelahiran Bujang. Tauke Muda datang dengan satu rombongannya, datang dari kota untuk melakukan perburuan besar-besaran. Mereka akan memburu babi hujan yang akhir-akhir ini berhasil meresahkan warga.
Sorenya, atas izin bapak dan mamaknya–yang sedikit tidak rela, Bujang ikut satu rombongan Tauke Muda ke hutan. Mereka akan melakukan perburuan besar-besaran yang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Seperti pesan mamaknya, Bujang hanya boleh menonton perburuan di hutan, tidak diizinkan lebih seperti ikut melawan babi-babi hutan. Dengan membawa tompak dari kayu trembesi dengan ujung logam tajam yang dipinjamkan bapaknya, Bujang akhirnya berangkat. Mulai mendaki lereng, melewati jalanan setapak, menuju jantung rimba Sumatra.
Persis malam itu, pada puncak perburuan. Dada bujang telah dibelah, rasa takut telah dikeluarkan dari sana. Malam itu juga Bujang menyadari, warisan leluhurnya yang menakjubkan, bahwa dia tidak mengenal lagi definisi rasa takut.
Esoknya Tauke Muda meminta izin membawa Bujang ke kota, sekali lagi dengan berat hati sang mamak harus merelakan kepergian Bujang ke kota, ikut dengan rombongan Tauke Muda. Mamaknya sekali lagi berpesan, Bujang harus menjaga perutnya dari daging babi dan tuak juga segala macam makanan-minuman haram. Setelah mendapat izin dari bapak dan mamaknya, berangkatlah Bujang ke kota bersama rombongan Tauke Muda.
Sampai di kota Bujang dilayani dengan sangat terhormat. Dia diangkat sebagai anak angkat Tauke Muda yang ternyata telah menjadi Tauke Besar, hanya saja bapaknya masih memanggilnya dengan sebutan Tauke Muda.
Kemudian ada Basyir, orang pertama yang ditemui Bujang saat berada di kota sekaligus teman pertama Bujang. Remaja berusia enam belas tahun, memiliki tubuh tinggi besar, kulit gelap, perawakan khas Arab dan tinggal di rumah Tauke Besar sejak kecil. Basyir sangat senang berbicara, dia paling senang menceritakan sejarah leluhurnya tentang suku Bedouin.
Di kota, Tauke Besar berusaha membuat Bujang dapat menyusul ketertinggalan di sekolah sebab di kampungnya dia tidak pernah mencicipi bangku sekolah. Bersama Frans, seorang mantan diplomat yang kini telah menjadi guru di sekolah internasional ibu kota, Bujang memulai sekolahnya. Mulai dari belajar pelajaran pengetahuan umum, logika, matematika dan potensi akademik lainnya.
Awalnya Bujang bersabar menunggu jatahnya untuk menjadi tukang pukul, mungkin belajar bersama Frans adalah salah satu proses sebelum menjadi tukang pukul, namun lambat laun Bujang merasa heran dan bosan, Bujang ingin seperti Basyir yang dapat ikut para tukang pukul kesana kemari menghabisi beberapa orang yang merewelkan di luar sana. Namun Tauke Besar tidak mengizinkan. Sayangnya bukan Bujang jika dia tidak menentang, persis seperti Samad bapaknya Bujang terus menuntut tidak ingin sekolah dengan Frans. Akhirnya Tauke Besar mengalah, dengan satu perjanjian kecil Bujang akhirnya diizinkan. Melakukan suatu ritual yang biasa di lakukan para tukang pukul. Setelah melakukan ritual ternyata Bujang kalah, sesuai perjanjian jika Bujang kalah dia akan sekolah dengan Frans. Dengan berat hati Bujang pun mengikuti sekolah dengan Frans.
Kopong, salah satu petinggi tukang pukul, meminta izin Tauke Besar untuk melatih Bujang, Tauke pun mengizinkan agar Bujang semakin bersemangat belajar akademiknya. Dengan dua guru kiriman kopong, satu bernama Guru Bushi dan satunya Solanga. Bujang mulai melatih keahliannya.
Dua puluh tahun kemudian, Bujang telah tumbuh menjadi pemuda yang gagah, menjadi jagal dunia hitam, seorang jagal nomor satu. Jenius, kuat, dan tidak mengenal rasa takut. Bujang berhasil menyusul ketertinggalannya dan menyelesaikan sekolah terakhirnya di luar negeri sebagai salah satu lulusan terbaik. Bujang tumbuh menjadi pemuda yang hebat, cerdik dan penuh ide-ide cemerlang. Berpindah dari satu kota ke kota lainnya, dari satu Negara ke Negara lainnya. bertemu orang-orang petinggi sampai calon presiden. Bujang telah hebat, dia diberi julukan si babi hutan. Menjadi bagian dari Keluarga Tong, salah satu keluarga penguasa shadow economy.
Setelah Keluarga Tong telah berkembang pesat, bau pengkhianat mulai tercium. Di sanalah rasa takut Bujang mulai tergoyah. Bujang merasa lalai pada dirinya sendiri. Bahwa pengkhianat itu ternyata berada di sekitar Bujang, menjadi bagian dari keluarga besarnya.
Siapakah sosok pengkhianat tersebut?
Dimanakah letak ‘pulang’ dalam cerita?
Takdir apa yang telah menunggu Bujang?
Apa yang sebenarnya ingin Tere Liye sampaikan dalam novel ini?
Ketersediaan
1900256 | 899.2213 TER p c1 | SMP MTA Library (800) | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri |
-
|
---|---|
No. Panggil |
899.2213 TER p
|
Penerbit | Republika Penerbit : Jakarta., 2015 |
Deskripsi Fisik |
iv + 400 hlm.; 20,5 cm
|
Bahasa |
Indonesia
|
ISBN/ISSN |
978-602-0822-12-9
|
Klasifikasi |
899.2213
|
Tipe Isi |
-
|
Tipe Media |
-
|
---|---|
Tipe Pembawa |
-
|
Edisi |
-
|
Subyek | |
Info Detil Spesifik |
-
|
Pernyataan Tanggungjawab |
-
|
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain